Menanamkan nilai sportivitas pada anak—Salah satu karakter penting yang perlu ditanamkan pada anak sejak dini adalah sikap sportif.
Sikap mau menerima sesuatu dengan lapang dada. Menerima kekalahan atau
kekurangan diri sendiri. Sebaliknya mau menerima dan mengakui kelebihan
dan keunggulan orang lain. Bhineka Tunggal Ika
Perkembangan terkini menunjukkan adanya banyak sengketa dan kisruh.
Ini sering berawal dari akibat tidak menerima kelebihan dan keunggulan
orang lain. Fenomena sosial dan budaya di seputar kita juga membuktikan
adanya sikap yang tidak sportif menanggapi sesuatu. Banyak orang yang
sulit menerima kekurangan dirinya—Begitu pula menerima kelebihan dan
keunggulan orang lain dalam kehidupan yang memang ekosistem kita
ternyata dirancang semacam kompetisi laksana pertandingan sepak bola
yang cenderung menimbulkan konflik sosial.
Memang, sikap sportif adalah suatu hal yang sulit diterapkan meskipun
gampang diucapkan. Perjalanan hidup kita memang suka tidak suka,
sesungguhnya tak luput dari kompetisi dan persaingan. Persaingan bahkan
sudah dimulai sejak dalam keluarga, disekolah—nyaris tak bisa dihindari.
Bahkan sejak pemerintah Orde Baru hingga sekarang sangat suka dengan
lomba-lomba—hingga diam-diam kompetisi sudah dianggap lazim berkembang
biak sejak di lingkungan keluarga.
Maka sesungguhnya sejak dini seorang anak akan menjalani berbagai
kompetisi, persaingan dan perlombaan. Kompetisi merebut perhatian orang
tua dalam keluarga. Persaingan mendapatkan juara di kelas. Sampai pada
kompetisi yang lebih besar.
Di sinilah pentingnya peran orang tua di
rumah. Contoh dan keteladan orang tua menjadi soko guru utama dalam
menanamkan nilai sportifitas pada anak. Pembiasaan diri bersikap mental
sportif ditunjukkan kepada anak melalui pergaulan sehari-hari di
lingkungan keluarga.
Indonesia tercatat dalam “Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia”
(terbitan Ditjen Kebudayaan Depdikbud, 1945), memiliki sekitar 450-500
etnis suku bangsa yang menempati sekitar 17.000 pulau, tantangan ke
depan yang dihadapi Indonesia bersama pemimpinnya tidaklah ringan.
Tantangan yang tidak ringan ini sejak awal kemerdekaan RI pun sudah
disadari para pendiri republik. Jadi, pada 1951 para pendiri menciptakan
rangkaian kata Bhinneka Tunggal Ika dan diletakkan di bawah kaki burung
Garuda, lambang negara Indonesia. Masyarakat terbelah
Maksud para pendiri republik dengan merangkaikan kata Bhinneka
Tunggal Ika, lalu diletakkan di bawah kaki burung Garuda, tidak lain
untuk menjelaskan kepada seluruh bangsa ini akan realitas diri Indonesia
yang secara niscaya, merupakan negara bangsa yang multietnik dan/atau
multikultural.
Oleh karena itu, apa pun alasannya, keberagaman itu harus diterima,
dirawat, dan dilestarikan agar tidak menjadi momok yang dapat merusak
kebersamaan. Namun, untuk membangun dan mengembangkan masyarakat yang
beragam ini jelas tidak mudah. Tidak pelak selalu melahirkan komplikasi
sosial yang rumit, yang sedikit banyak menciptakan peluang
tercabik-cabiknya kebinekaan.
Realitas menunjukkan, semangat kebersamaan dalam keberagaman yang
selalu dibanggakan itu ternyata sangat rawan oleh konflik kepentingan
antaragama, antaretnis, dan antarbudaya. Jadi, dalam kebersamaan itu
masih terus menyimpan noda yang dapat merusak keberagaman. Kemudian,
yang terpotret adalah wajah bangsa yang selama ini kerap dibanggakan
sebagai bangsa yang sopan, ramah, murah senyum, ternyata masih mudah
terprovokasi dan terkesan sangat emosional.
Fenomena riil masyarakat yang kadang-kadang mudah terprovokasi itulah
yang kemudian mencuatkan kegelisahan tentang lahirnya konflik yang bisa
terjadi pada pilpres belum lama ini, jika kondisi politik tidak bisa
dikendalikan. Lihat bagaimana kampanye hitam yang begitu mengganas pada
setiap PEMILU
Panggung politik telah menjelma menjadi semacam arena bagi para
“gladiator” politik untuk bertarung, lengkap dengan para penggembiranya.
“Perang komentar” antar pendukung di media sosial yang saling
menjatuhkan. Tanpa beban, para pengguna media sosial partisan
melontarkan komentar apa saja demi katarsis.
Itulah yang kemudian membuat wajah politik masyarakat Indonesia
pascapilpres dapat digambarkan sebagai masyarakat terbelah yang dapat
menjurus pada tercabiknya-cabiknya kebinekaan.
Namun persoalannya, bagaimana supaya “keretakan-keretakan” dalam
masyarakat yang terjadi bisa dirajut kembali. Bagaimana supaya dapat
merajut kembali etika kebersamaan yang telah terkoyak akibat preferensi
dukungan dilancarkan secara bombastis yang tentu sangat mengancam
rusaknya sendi-sendi kebinekaan? Etika Kebersamaan
Untuk mencegah konflik yang terjadi akibat permusuhan karena benturan
kepentingan dalam kehidupan masyarakat beragam, tidak ada jalan lain
yang lebih efektif selain segera mengembalikan etika kebersamaan yang
humanis. Itu dimulai dengan, pertama, membangun kultur sportivitas untuk
menerima kekalahan sebagai proses menuju kemenangan yang tertunda.
Sikap sportif—kultur sportivitas ini hendaknya terbangun terus dalam
kehidupan sehari-ahri dalam masyarakat, seperti sikap sportif dalam
menerima kelebihan dan kekurangan orang lain, supaya tidak tumbuh rasa
sirik, dengki, dan iri dalam kehidupan masyarakat nan beragam ini.
Karena sikap sirik, dengki, dan iri adalah sumber terdalam lahirnya
konflik dalam masyarakat plural yagn memiliki banyak perbedaan seperti
kegagalan dan keberhasilan yang diraih secara individu dan kelompok
dalam masyarakat yang beragam.
Etika politik dalam masyarakat plural adalah mengarahkan ke hidup
baik, bersama, dan untuk orang lain dalam rangka memperluas lingkup
kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Institusi yang
adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga masyarakat
atau kelompok dari perbuatan-perbuatan yang merusak kebersamaan.
Dalam hal ini, pendidikan etika, moral, budi pekerti, menjadi sangat
penting. Karena semua aspek pendidikan tersebut, khususnya agama, setiap
agama selalu mengajarkan kebaikan, kedamaian, dan keharmonisan
antarumat beragama.
Ajaran agama mana pun pasti mendorong semua orang untuk berbuat baik
dan menjauhkan diri dari kejahatan, hawa nafsu, sirik, dengki, dan iri,
yang merusak kebersamaan yang tentu dapat menodai Bhinneka Tunggal Ika.
Agama memotivasi setiap pemeluknya untuk mengamalkan kebaikan kepada
sesama dalam semangat pengabdian dan pemuliaan kepada Yang Maha Kuasa.
Perlu disadari secara terus-menerus, bangsa Indonesia lahir dari
keberagaman, yang terdiri dari sekitra 17.000 pulau, dengan banyak
etnis, keyakinan, dan cara pandang. Perbedaan tersebut hanya dapat
diterima dengan penuh syukur dan semua memiliki tanggung jawab untuk
memelihara dan melestarikannya. Jadi, membangun kebersamaan atau
membangun kembali etika kebersamaan dengan prinsip menghargai hak
manusia dalam beraktivitas merupakan keharusan. Bhinneka Tunggal Ika
mesti dijaga dan dilestarikan.
Itu semua menjadi tugas sekaligus catatan bagi presiden dan wakil
presiden terpilih, yaitu bagaimana supaya kebersamaan masyarakat dalam
kebinekaan bangsa ini tetap terbangun, bahkan semakin kokoh dan kian
lestari. Pertama kali, pemimpin baru harus segera menunjukkan bahwa
kepemimpinannya tidak berpihak pada kelompok agama, etnis, atau ras
tertentu, tetapi benar-benar untuk seluruh warga bangsa tanpa kecuali.
Di sini, pemimpin baru harus segera mengarahkan seluruh warga bangsa
kepada hidup yang bersahaja dengan merajut kembali etika kebersamaan.
Ini semua yang harus kita pahami bahwa akar persoalannya adalah pada
ekosistem kehidupan kita yang entah disadari atau tidak yakni perubahan
yang sangat fundamental dari kehidupan komunal, kolektif lalu masuk ke
kehidupan yang individual dan serba kompetitif—entahlah apakah negara
menyadari perubahan ini apa tidak???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar