Pengaturan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif sudah diatur baik
secara intenasional maupun secara nasional.
Oleh karena itu penelitian ini perlu
menjelaskan kembali karena perkembangan hukum, khususnyadi bidang kelautan.
Aspek Hukum (Yurisdiksi) Negara Pantai
di Bidang Perikanan Menurut Konvensi Hukum Laut PBB 1982
Sebagaimana diketahui bahwa
Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 dengan
Undang-undang Nomor 17 tahun 1985. Konvensi tersebut telah berlaku pada tanggal
16 November 1994 yakni setahun setelah sipenuhinya jumlah ratifikasi sebanyak
60 negara oleh Guyana pada tanggal 16 November 1993, sebagaimana disyaratkan
oleh Pasal 308 yang menyatakan bahwa Konvensi akanberlaku 12 bulan setelah
tanggal pendepositan piagam ratifikasi yang ke-60. Oleh karena itu bagi negara
kepulauan dan negara pantai seperti Indonesia, peristiwa tersebut merupakan
langkah yang patut dibanggakan. Dengan berlakuknya yurisdiksi Konvensi Hukum
Laut 1982 berarti status kepulauan Indonesia dengan yurisdiksi terhadap
eksploitasi kekayaan alam hayati dan non hayati, sudah tidak diragukan lagi
secara internasional.
Adapun Hak dan Kewajiban Indonesia
sebagai Negara Pantai adalah sebagai berikut:
(a)Hak Negara Pantai untuk membuat
pengaturan.
Untuk melihat sejauh mana hak
Indonesia, terutama dalam memanfaatkan sumber daya ikan yang terkandung dalam
laut kepulauan dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, pertama-tama dapat dilihat
dari Pasal 3 KHL 1982 yangmenyatakan bahwa kedaulatan suatu negara pantai selain
meliputi wilayah daratan dan perairan pedalamannya, dan dalam hal suatu negara
kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang
berbatasan dengannya yang dinamakan laut teritorial. Maka pada prinsipnya
adalah wewenang penuh negara pantai untuk mengatur pemanfaatan perikanan di
wilayah perairan nasional Indonesia yaitu di laut pedalaman, laut kepulauan,
dan laut teritorial. Walaupun kapal asing diberi hak untuk melakukan lintas
damai tetapi pada saat ia melakukan lintas itu, tidak diperkenankan untuk
menangkap ikan. Hal ini ditegaskan oleh KHL 1982 Pasal 19 ayat (2) (i) yang
menyatakan bahwa lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan
kedamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di
laut teritorial melakukan setiap kegiatan perikanan.
Selanjutnya negara pantai diberi
kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
lintas damai melalui laut teritorial yang meliputi :
a.keselamatan navigasi dan
pengaturan lalu lintas maritime
b.perlindungan alat-alat pembantu
dan fasilitas navigasi serta fasilitas atau instalasi lainnya
c.perlindungan kabel dan pipa laut
d.konservasi kekayaan hayati laut
e.pencegahan pelanggaran peraturan
perundang-undangan perikanan negara pantai
f.pelestarian lingkungan negara
pantai dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemarannya
g.penelitian ilmiah kelautan dan
survey hidrografi
h.pencegahan pelanggaran peraturan
perundang-undangan fiskal, imigrasi, atau saniter negara pantai.
Pengaturan-peraturan yang dibuat
oleh negara pantai tersebut tidak berlaku bagi desain, konstruksi, pengawakan,
atau peralatan kapal asing, kecuali apabila peraturan perundang-undangan
tersebut melaksanakan peraturan atau standarinternasional yang diterima secara
umum (Pasal 21 ayat 2). Dan peraturan-peraturan tersebut harus bersifat
transparan dan mudah diketahui oleh negara yang melakukan pelayaran lintas
damai tersebut. Kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai, harus mematuhi
semua peraturan perundang-undangan dan semua peraturan internasional yang
bertalaian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara umum.
(b)Hak perikanan tradisional bagi
negara tetangga.
Tanpa mengurangi status perikanan
kepulauan, negara pantai (Indonesia) harus tetap menghormati pernjajian yang
ada dengan negara lain, dan harus mengakui hak perikanan tradisional serta
kegiatan lain yang sah dari negara tetangga yang langsung berdampingan dalam
daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi
pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan
daerah dimana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu
negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antar mereka.
Hak demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga
negeranya.
(c)Hak berdaulat di Zona Ekonomi
Eksklusif.
Menurut Pasal 56 KHL 1982 negara
pantai (Indonesia) dalam Zona Ekonomi Eksklusifnya mempunyai hak-hak berdaulat
untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber
kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut
dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain
untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi zona tersebut, seperti produksi
energi dan air, arus dan angin.
Yurisdiksi di ZEE terbatas pada hak
untuk melakukan eksploitasi sumber kekayaan alam yang dikandungnya, dengan
tetap mengakui adanya status lain dari perairan tersebut sebagai laut bebas,
untuk kegiatan-kegiatan yang bukan termasuk ke dalam pemafaatan kekayaan alam.
Dengan perkataan lain, yurisdiksi yang diberikan oleh Konvensi terbatas
terhadap hak-hak ekonomi dan negara pantai atas kekayaan alamnya. Sedangkan di
bidang pelayaran dan pemasangan kabel dan pipa di bawah laut, tetap merupakan
laut bebas. Selain yurisdiksi terhadap kekayaan alam yang terkandung di ZEE,
kegiatan-kegiatan yang sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan eksistensi dari
kekayaan tersebut, Konvensi mengakui adanya yurisdiksi yang berkaitan. Sebagaimana
dikatakan dalam Pasal 56 ayat (1) butir (b) bahwa yurisdiksi sebagaimana
ditentukan dalam ketentuan yang relevan dengan Konvensi ini berkenaan dengan :
(i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; (ii) riset
ilmiah kelautan; dan (iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
Ditambah dengan hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi.
Namun dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi
ini dalam ZEE, negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak
dan kewajiban konvensi. Mengenai hak-hak negara lain di ZEE ditegaskan dalam
Pasal 58 yang menyatakan bahwa semua negara, baik negara yang pantai atau
negara tak berpantai dengan tunduk pada ketentuan yang relevan dengan konvensi,
menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakan kabel
dan pipa bawah laut, dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum
internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan kapal, pesawat udara,
dan kabel serta pipa bawah laut.
(d)Kewajiban negara pantai untuk
melakukan konservasi sumber kekayaan alam hayati.
Sebagaimana dikatakan di atas, bawah
sesungguhnya yurisdiksi negara pantai yang berlaku di ZEE sifatnya terbatas,
dan kebebasan-kebebasan yang berlaku di laut bebas masih melekat dalam hal-hal
tertentu. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan kekayaan alam di ZEE jangan
sampai merusak kelangsungan hidup sumber daya hayati di perairan tersebut.
Mengingat bahwa sumber daya hayati seperti ikan sebenarnya tidak dapat dibatasi
oleh suatu batas tertentu, dan mempunyai sifat berpindah-pindah, sehingga
kepentingan eksploitasi sumber itu oleh suatu negara tidak terlepas juga
kepentingan negara lain, terutama negara-negara yang berdekatan baik berhadapan
maupun yang berdampingan.
Oleh karena itu, konvensi mewajibkan
hal-hal sebagai berikut (pasal 61 KHL 1982):
(1)negara pantai harus menentukan
jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan dalam ZEE.
(2)Negara pantai, dengan
memperhatikan bukti ilmiah terbaik dan tersedia baginya harus menjamin dengan
mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga pemeliharaan
sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tidak dibahayakan oleh
eksploitasi yang berlebihan. Dimana perlu, negara
17pantai dan organisasi
internasional, regional maupun global, harus bekerja sama untuk tujuan ini.
(3)Tindakan demikian juga bertujuan
untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada
tingkat yang dapat menjaminhasil maksimum yang lestari, sebagaimana ditentukan
oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan, termasuk kebutuhan ekonomi
masyarakat nelayan daerah pantai dan kebutuhan khusus negara berkembang, dan
dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, salingketergantungan persediaan
jenis ikan dan standar minimum internasional yang dianjurkan secara umum, baik
di tingkat sub-regional, regional, maupun global.
(4)dalam mengambil tindakan
demikian, negara pantai harus memperhatikan akibat-akibat terhadap jenis-jenis
yang berhubungan atau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan dengan tujuan
untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan atau
tergantung demikian di atas tingkat reproduksinya dapat sangat terancam.
(5)keterangan ilmiah yang tersedia,
statistik penangkapan dan usaha perikanan, serta data lainnya yang relevan
dengan konservasi persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan diperuntukan
secara teratur melalui organisasi internasional yang berwenang baik
sub-regional, regional, maupun globaldimana perlu dan dengan peran serta semua
negara yang berkepentingan, termasuk negara yang warga negaranya diperbolehkan
menangkap ikan di ZEE.
(e)Kewajiban negara pantai untuk
memanfaatkan secara optimal wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Negara pantai diharuskan untuk
memanfaatkan secara optimal wilayah ZEE-nya, dan harus menetapkan kemampuannya.
Apabila ternyata negara pantai tersebut tidak memiliki kemampuan untuk
memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan,
makaia harus, melalui perjanjian atau peraturan lainnya, memberikan kesempatan
pada negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan sesuai dengan jumlah
tangkapan yang diperbolehkan yang masih tersisa dengan memperhatikan secara
khusus ketentuan Pasal 69 dan Pasal 70, khususnya yang bertalian dengan negara
berkembang yang disebut di dalamnya. Dalam memberikan kesempatan memanfaatkan
kepada negara lain itu, negara pantai harus memperhitungkan semua faktor yang
relevan, termasuk antara lain mengenai pentinya sumber kekayaan hayati yang
penting bagi perekonomian negara pantai yang bersangkutan dan kepentingan
nasional yang lain (Pasal 62 ayat 3). Warga negara lain yang melakukan
penangkapan ikan di ZEEI harus mematuhi tindakan konservasi dan ketentuan serta
persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan negara
pantai.Peraturan perundang-undangan itu meliputi:
(1) pemberian izin kepada nelayan, kapal penangkapan ikan
dan peralatannya, termasuk pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang
dalamhal negara pantai yang berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di
bidang pembiayaan, peralatan, dan teknologi yang bertalian dengan industri
perikanan;
(2) pentepan jenis ikan yang ditangkap, dan menentukan
kuota-kuota penangkapan, baik yang bertalian dengan persediaaan jenis ikan atau
kelompok persediaan jenis iakan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang
dapat ditangkap oleh warga negara suatu negara selama jangka waktu tertentu;
(3) pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran
dan jumlah alat penagkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap
ikan yang boleh digunakan;
(4) penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis yang boleh
ditangkap;
(5) rincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap
ikan, termasuk statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan
tentang posisi kapal;
(6) persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan negara
pantai, dilakukan program riset perikanan yang tertentu dan pengaturan
pelaksanaan riset demikian, termasuk pengambilan contoh tangkapan, disposisi
contoh tersebut dan pelaporan data ilmiah yang berhubungan
(7) penempatan peninjauan atau trainee di atas kapal
tersebut oleh negara pantai;
(8) penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh
kapal tersebut di pelabuhan negara pantai;
(9) ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha
patungan atau pengaturan kerja sama lainnya;
(10) persyaratan untuk latihan personil dan pengalihan
teknologi perikanan, termasuk peningkatan kemampuan negara pantai untuk
melakukan riset perikanan;
(11) prosedur penegakan.Apabila di ZEE atau di luar tetapi
berdekatan dari dua negara atau lebih, terdapat persediaan ikan jenis yang sama
atau termasuk dalam jenis yang sama, maka negara-negara ini harus secara
langsung melalui organisasi sub-regional atau regional, berusaha mencapai
kesepakatan mengenai tindakan yang diperlukan untuk mengkoordinasikan dan
menjamin konservasi dan pengembangan persediaan jenis ikan yang demikian (Pasal
63 KHL 1982).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar