Rabu, 26 Juni 2019

MANTAN ANGGOTA ISIS KEMBALI KE INDONESIA?


Apakah boleh mantan anggota ISIS kembali ke Indonesia?
Kalo menurut saya, saya tidak setuju mereka kembali ke Indonesia  karena ISIS itu organisasi dari Amerika dan Amerika ingin menghancurkan umat-umat islam di dunia, tapi jika mantan anggota ISIS itu kembali ke Indonesia mungkin bisa aja terjadi aksinya kembali menghancurkan umat-umat islam di Indonesia maka saya khawatir dan juga tidak setuju kalo mereka itu akan kembali ke Indonesia.

Tapi mungkin saya setuju kalo anak-anak mereka yang mantan anggota ISIS bisa diterima karena bisa dididik agar bisa melindungi umattia-umat Islam di dunia, tapi sepertinya mereka juga bisa dibawa oleh kedua orangtua yang telah menjadi anggota ISIS. Kalo kedua orangtua harus bener selektif banget jangan sampe mereka tetap membawa ilmu dari ISIS dan juga bisa aja terjadi menghancurkan umat-umat islam di Indonesia.

Apalagi hampir seluruh masyarakat di Indonesia menyatakan tidak setuju jika mantan anggota ISIS ke kembali ke Indonesia, seharusnya ISIS sudah mengerti dan  tidak akan kembali ke Indonesia karena tidak akan diterima.

Keberadaan puluhan orang, di antaranya anak-anak dan kaum perempuan, yang mengaku Warga Negara Indonesia (WNI), di antara pejuang kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Al-Hawl, di Suriah akhir Maret lalu membangkitkan kembali perdebatan tentang kebijakan pemerintah Indonesia untuk menerima kembali mereka.
Tahun 2017, Indonesia memutuskan menerima kembali 17 WNI yang dideportasi dari perbatasan Suriah-Irak bergabung dengan ISIS di Suriah.
Terkait temuan baru bulan Maret lalu, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Indonesia belum memberikan sikap resminya. Juru bicara Kemenlu Arrmanatha Nasir mengatakan pemerintah harus melakukan proses verifikasi sebelum bisa menerima kembali mereka.

Saya yang meneliti isu terorisme dalam beberapa tahun terakhir berpendapat bahwa WNI ini sebaiknya dipulangkan karena alasan kemanusiaan dan status hukum mereka yang bukan pengungsi. Namun, tentu saja penerimaan mereka dilakukan setelah melalui proses verifikasi dan deradikalisasi.

Maka pemerintah di Indonesia tidak tutup kemungkinan menyediakan untuk menerima kembali warga negara Indonesia mantan anggota ISIS yang ingin kembali ke Tanah Air karena ada alasan kemanusiaan dan sejumlah negara luar negeri tidak setuju.

Alasan kemanusiaan

Kita tidak bisa membiarkan mereka para anggota ISIS yang merupakan WNI tinggal di sana karena dua hal. Pertama, kita akan membiarkan mereka untuk diadili oleh sistem hukum yang berlaku di Irak dan Suriah. Sementara, penegakan hukum di Suriah tidak berjalan baik. Laporan dari Amnesty International menyebutkan bahwa penyiksaan kerap terjadi di penjara di Suriah. Kondisi yang sama terjadi di Irak
Selain itu, kita berarti membiarkan mereka tinggal di berbagai tempat penampungan yang kondisinya memprihatinkan. Satu tempat penampungan yang seharusnya diisi oleh 20.000 orang saja saat ini harus menampung 60.000 orang. Apalagi mengingat bahwa 90% pejuang ISIS yang berada di tempat penampungan di kota Al-Hawl merupakan perempuan dan anak-anak.

Melihat dari status hukum

Status hukum WNI yang pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS bukanlah pengungsi.
Menurut Konvensi tentang Status Pengungsi 1951, pengungsi didefinisikan sebagai mereka yang terusir dari negaranya kemudian terpaksa hijrah ke negeri orang karena takut atau khawatir menjadi korban kekerasan atau persekusi atas nama ras, agama, kebangsaan, keanggotaan dalam kelompok sosial dan partai politik tertentu. Menurut Konvensi tahun 1951, pendatang yang berstatus sebagai pengungsi tidak boleh dikembalikan ke negara asal karena akan membahayakan keselamatan mereka.
Sedangkan, orang-orang Indonesia ini pergi ke Suriah atas kehendak sendiri. Mereka juga tidak meninggalkan Indonesia maupun diusir dari Indonesia karena alasan SARA. Maka, mereka bukanlah pengungsi dalam pengertian hukum internasional. Mereka menyalahgunakan visa kunjungan ke negara lain (misalnya Turki) untuk bergabung dengan ISIS di Suriah.
Oleh karena itu, negara penerima juga memiliki kewenangan untuk mendeportasi (mengembalikan) mereka ke negara asal karena penyalahgunaan visa ini. Dan menurut hukum internasional, pemerintah Indonesia tidak punya alasan untuk menolak mereka.

Kasus negara lain

Negara-negara lain, utamanya negara-negara Eropa, bertindak lebih tegas terhadap warga negaranya yang bergabung dengan ISIS.
Kebijakan dari beberapa negara Eropa, seperti Inggris Inggris, Prancis, Belanda dan Jerman mencerminkan keengganan mereka untuk menerima kembali mereka. Sejak 2013, setidaknya ada 800 warga negara-negara tersebut yang masih terkatung-katung nasibnya.
Beberapa negara yang mau menerima kembali warganegaranya memberikan persyaratan yang sangat kompleks. Salah satunya adalah menjalani pengadilan terlebih dahulu, seperti yang dilakukan di Jerman. Intinya, sulit bagi mantan anggota ISIS untuk bisa pulang ke negeri asalnya di Eropa begitu saja.
Namun kasus ini juga pelik. Karena jika dibiarkan, orang-orang akan kehilangan kewarganegaraannya dan ini merupakan pelanggaran HAM yang serius.
Namun, jika mereka dibiarkan pulang begitu saja, hal ini akan menimbulkan ancaman menularnya virus ekstremisme.
Perdebatan ini terlihat dalam kasus Shamima Begum, warga negara Inggris yang bergabung dengan ISIS bersama dengan suaminya, seorang warna negara Belanda, Yago Riedijk.

Yang Indonesia sebaiknya lakukan

Proses penerimaan kembali 17 WNI mantan anggota ISIS tahun 2017 membuktikan bahwa pemerintah bisa menerima kembali WNI yang masih terdampar di Suriah.
Alasan kemanusiaan yang digunakan pemerintah sudah tepat.
Untuk menjawab kekhawatiran kemungkinan adanya penyebaran nilai-nilai radikalisme, pemerintah harus memastikan bahwa proses penerimaan mereka kembali dilakukan secara seksama dan teliti.
Sama seperti yang sudah dilakukan sebelumnya, pemerintah perlu melakukan verifikasi dulu terkait peran dari setiap anggota ISIS yang dipulangkan ke Indonesia. Apabila mereka hanya sekadar korban indoktrinasi, tentu mereka akan diperlakukan secara berbeda dengan mereka yang menjadi pejuang.
Yang jelas, apapun peran yang mereka jalankan, semuanya wajib menjalani program deradikalisasi untuk dapat kembali be-reintegrasi dan menjalani kehidupan yang normal sebagai WNI yang baik.

Minggu, 09 Juni 2019

I.r Soekarno

Ir. H. Soekarno1 (ER, EYD: Sukarno, nama lahir: Koesno Sosrodihardjo) (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 – meninggal di Jakarta, 21 Juni 1970 pada umur 69 tahun)[note 1][note 2] adalah Presiden pertama Republik Indonesia yang menjabat pada periode 1945–1967.[5]:11, 81 Ia memainkan peranan penting dalam memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda.[6]:26-32 Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Soekarno adalah yang pertama kali mencetuskan konsep mengenai Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dan ia sendiri yang menamainya.[6]
Soekarno menandatangani Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial, yang isinya —berdasarkan versi yang dikeluarkan Markas Besar Angkatan Darat— menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga keamanan negara dan institusi kepresidenan.[6] Supersemar menjadi dasar Letnan Jenderal Soeharto untuk membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mengganti anggota-anggotanya yang duduk di parlemen.[6] Setelah pertanggungjawabannya ditolak Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada sidang umum ke empat tahun 1967, Soekarno diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden pada Sidang Istimewa MPRS pada tahun yang sama dan Soeharto menggantikannya sebagai pejabat Presiden Republik Indonesia.[6]

Kehidupan
masa kecil dan Remaja
Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai.[5] Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali.[5] Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu, sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam.[5] Mereka telah memiliki seorang putri yang bernama Sukarmini sebelum Soekarno lahir.[9]:4-6, 247-251 Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur.[5]
Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut.[5] Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja.[9] Kemudian pada Juni 1911 Soekarno dipindahkan ke Europeesche Lagere School (ELS) untuk memudahkannya diterima di Hogere Burger School (HBS).[5] Pada tahun 1915, Soekarno telah menyelesaikan pendidikannya di ELS dan berhasil melanjutkan ke HBS di Surabaya, Jawa Timur.[5] Ia dapat diterima di HBS atas bantuan seorang kawan bapaknya yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto.[5] Tjokroaminoto bahkan memberi tempat tinggal bagi Soekarno di pondokan kediamannya.[5] Di Surabaya, Soekarno banyak bertemu dengan para pemimpin Sarekat Islam, organisasi yang dipimpin Tjokroaminoto saat itu, seperti Alimin, Musso, Darsono, Haji Agus Salim, dan Abdul Muis.[5] Soekarno kemudian aktif dalam kegiatan organisasi pemuda Tri Koro Dharmo yang dibentuk sebagai organisasi dari Budi Utomo.[5] Nama organisasi tersebut kemudian ia ganti menjadi Jong Java (Pemuda Jawa) pada 1918.[5] Selain itu, Soekarno juga aktif menulis di harian "Oetoesan Hindia" yang dipimpin oleh Tjokroaminoto.[9]

Tamat HBS Soerabaja bulan Juli 1921[10], bersama Djoko Asmo rekan satu angkatan di HBS, Soekarno melanjutkan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil pada tahun 1921,[1]:38 setelah dua bulan dia meninggalkan kuliah, tetapi pada tahun 1922 mendaftar kembali[1]:38 dan tamat pada tahun 1926.[11] Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926 dan pada Dies Natalis ke-6 TH Bandung tanggal 3 Juli 1926 dia diwisuda bersama delapan belas insinyur lainnya.[1]:37 Prof. Jacob Clay selaku ketua fakultas pada saat itu menyatakan "Terutama penting peristiwa itu bagi kita karena ada di antaranya 3 orang insinyur orang Jawa".[1]:37 Mereka adalah Soekarno, Anwari, dan Soetedjo,[12]:167 selain itu ada seorang lagi dari Minahasa yaitu Johannes Alexander Henricus Ondang.[12]:167
Saat di Bandung, Soekarno tinggal di kediaman Haji Sanusi yang merupakan anggota Sarekat Islam dan sahabat karib Tjokroaminoto.[5] Di sana ia berinteraksi dengan Ki Hajar Dewantara, Tjipto Mangunkusumo, dan Dr. Douwes Dekker, yang saat itu merupakan pemimpin organisasi National Indische Partij.

Sebagai arsitek

Bung Karno adalah presiden pertama Indonesia yang juga dikenal sebagai arsitek alumni dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB) di Bandung dengan mengambil jurusan teknik sipil dan tamat pada tahun 1926. [note 3] [note 4] [13]

Pekerjaan

  • Ir. Soekarno pada tahun 1926 mendirikan biro insinyur bersama Ir. Anwari, banyak mengerjakan rancang bangun bangunan. Selanjutnya bersama Ir. Rooseno juga merancang dan membangun rumah-rumah dan jenis bangunan lainnya.
  • Ketika dibuang di Bengkulu menyempatkan merancang beberapa rumah dan merenovasi total masjid Jami' di tengah kota.[14]

Pengaruh terhadap karya arsitektur

Semasa menjabat sebagai presiden, ada beberapa karya arsitektur yang dipengaruhi atau dicetuskan oleh Soekarno. Juga perjalanan secara maraton dari bulan Mei sampai Juli pada tahun 1956 ke negara-negara Amerika Serikat, Kanada, Italia, Jerman Barat, dan Swiss. Membuat cakrawala alam pikir Soekarno semakin kaya dalam menata Indonesia secara holistik dan menampilkannya sebagai negara yang baru merdeka.[15]
Soekarno membidik Jakarta sebagai wajah (muka) Indonesia terkait beberapa kegiatan berskala internasional yang diadakan di kota itu, namun juga merencanakan sebuah kota sejak awal yang diharapkan sebagai pusat pemerintahan pada masa datang. Beberapa karya dipengaruhi oleh Soekarno atau atas perintah dan koordinasinya dengan beberapa arsitek seperti Frederich Silaban dan R.M. Soedarsono, dibantu beberapa arsitek junior untuk visualisasi. Beberapa desain arsitektural juga dibuat melalui sayembara.  

Sportivitas Dalam Kehidupan

Sportivitas Dalam Kehidupan

Menanamkan nilai sportivitas pada anak—Salah satu karakter penting yang perlu ditanamkan pada anak sejak dini adalah sikap sportif.  Sikap mau menerima sesuatu dengan lapang dada. Menerima kekalahan atau kekurangan diri sendiri. Sebaliknya mau menerima dan mengakui kelebihan dan keunggulan orang lain.
Bhineka Tunggal Ika
Perkembangan terkini menunjukkan adanya banyak sengketa dan kisruh. Ini sering berawal dari akibat tidak menerima kelebihan dan keunggulan orang lain.  Fenomena sosial dan budaya di seputar kita juga membuktikan adanya sikap yang tidak sportif menanggapi sesuatu. Banyak orang yang sulit menerima kekurangan dirinya—Begitu pula menerima kelebihan dan keunggulan orang lain dalam kehidupan yang memang ekosistem kita ternyata dirancang semacam kompetisi laksana pertandingan sepak bola  yang cenderung menimbulkan konflik sosial.
Memang, sikap sportif adalah suatu hal yang sulit diterapkan meskipun gampang diucapkan. Perjalanan hidup kita memang suka tidak suka, sesungguhnya tak luput dari kompetisi dan persaingan. Persaingan bahkan sudah dimulai sejak dalam keluarga, disekolah—nyaris tak bisa dihindari. Bahkan sejak pemerintah Orde Baru hingga sekarang sangat suka dengan lomba-lomba—hingga diam-diam kompetisi sudah dianggap lazim berkembang biak sejak di lingkungan keluarga.
Maka sesungguhnya sejak dini seorang anak akan menjalani berbagai kompetisi, persaingan dan perlombaan. Kompetisi merebut perhatian orang tua dalam keluarga. Persaingan mendapatkan juara di kelas. Sampai pada kompetisi yang lebih besar.
Di sinilah pentingnya peran orang tua di rumah. Contoh dan keteladan orang tua menjadi soko guru utama dalam menanamkan nilai sportifitas pada anak. Pembiasaan diri bersikap mental sportif ditunjukkan kepada anak melalui pergaulan sehari-hari di lingkungan keluarga.
Indonesia tercatat dalam “Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia” (terbitan Ditjen Kebudayaan Depdikbud, 1945), memiliki sekitar 450-500 etnis suku bangsa yang menempati sekitar 17.000 pulau, tantangan ke depan yang dihadapi Indonesia bersama pemimpinnya tidaklah ringan.
Tantangan yang tidak ringan ini sejak awal kemerdekaan RI pun sudah disadari para pendiri republik. Jadi, pada 1951 para pendiri menciptakan rangkaian kata Bhinneka Tunggal Ika dan diletakkan di bawah kaki burung Garuda, lambang negara Indonesia.
Masyarakat terbelah
Maksud para pendiri republik dengan merangkaikan kata Bhinneka Tunggal Ika, lalu diletakkan di bawah kaki burung Garuda, tidak lain untuk menjelaskan kepada seluruh bangsa ini akan realitas diri Indonesia yang secara niscaya, merupakan negara bangsa yang multietnik dan/atau multikultural.
Oleh karena itu, apa pun alasannya, keberagaman itu harus diterima, dirawat, dan dilestarikan agar tidak menjadi momok yang dapat merusak kebersamaan. Namun, untuk membangun dan mengembangkan masyarakat yang beragam ini jelas tidak mudah. Tidak pelak selalu melahirkan komplikasi sosial yang rumit, yang sedikit banyak menciptakan peluang tercabik-cabiknya kebinekaan.
Realitas menunjukkan, semangat kebersamaan dalam keberagaman yang selalu dibanggakan itu ternyata sangat rawan oleh konflik kepentingan antaragama, antaretnis, dan antarbudaya. Jadi, dalam kebersamaan itu masih terus menyimpan noda yang dapat merusak keberagaman. Kemudian, yang terpotret adalah wajah bangsa yang selama ini kerap dibanggakan sebagai bangsa yang sopan, ramah, murah senyum, ternyata masih mudah terprovokasi dan terkesan sangat emosional.
Fenomena riil masyarakat yang kadang-kadang mudah terprovokasi itulah yang kemudian mencuatkan kegelisahan tentang lahirnya konflik yang bisa terjadi pada pilpres belum lama ini, jika kondisi politik tidak bisa dikendalikan. Lihat bagaimana kampanye hitam yang begitu mengganas pada setiap PEMILU
Panggung politik telah menjelma menjadi semacam arena bagi para “gladiator” politik untuk bertarung, lengkap dengan para penggembiranya. “Perang komentar” antar pendukung di media sosial yang saling menjatuhkan. Tanpa beban, para pengguna media sosial partisan melontarkan komentar apa saja demi katarsis.
Itulah yang kemudian membuat wajah politik masyarakat Indonesia pascapilpres dapat digambarkan sebagai masyarakat terbelah yang dapat menjurus pada tercabiknya-cabiknya kebinekaan.
Namun persoalannya, bagaimana supaya “keretakan-keretakan” dalam masyarakat yang terjadi bisa dirajut kembali. Bagaimana supaya dapat merajut kembali etika kebersamaan yang telah terkoyak akibat preferensi dukungan dilancarkan secara bombastis yang tentu sangat mengancam rusaknya sendi-sendi kebinekaan?
Etika Kebersamaan
Untuk mencegah konflik yang terjadi akibat permusuhan karena benturan kepentingan dalam kehidupan masyarakat beragam, tidak ada jalan lain yang lebih efektif selain segera mengembalikan etika kebersamaan yang humanis. Itu dimulai dengan, pertama, membangun kultur sportivitas untuk menerima kekalahan sebagai proses menuju kemenangan yang tertunda.
Sikap sportif—kultur sportivitas ini hendaknya terbangun terus dalam kehidupan sehari-ahri dalam masyarakat, seperti sikap sportif dalam menerima kelebihan dan kekurangan orang lain, supaya tidak tumbuh rasa sirik, dengki, dan iri dalam kehidupan masyarakat nan beragam ini. Karena sikap sirik, dengki, dan iri adalah sumber terdalam lahirnya konflik dalam masyarakat plural yagn memiliki banyak perbedaan seperti kegagalan dan keberhasilan yang diraih secara individu dan kelompok dalam masyarakat yang beragam.
Etika politik dalam masyarakat plural adalah mengarahkan ke hidup baik, bersama, dan untuk orang lain dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Institusi yang adil memungkinkan perwujudan kebebasan yang mencegah warga masyarakat atau kelompok dari perbuatan-perbuatan yang merusak kebersamaan.
Dalam hal ini, pendidikan etika, moral, budi pekerti, menjadi sangat penting. Karena semua aspek pendidikan tersebut, khususnya agama, setiap agama selalu mengajarkan kebaikan, kedamaian, dan keharmonisan antarumat beragama.
Ajaran agama mana pun pasti mendorong semua orang untuk berbuat baik dan menjauhkan diri dari kejahatan, hawa nafsu, sirik, dengki, dan iri, yang merusak kebersamaan yang tentu dapat menodai Bhinneka Tunggal Ika. Agama memotivasi setiap pemeluknya untuk mengamalkan kebaikan kepada sesama dalam semangat pengabdian dan pemuliaan kepada Yang Maha Kuasa.
Perlu disadari secara terus-menerus, bangsa Indonesia lahir dari keberagaman, yang terdiri dari sekitra 17.000 pulau, dengan banyak etnis, keyakinan, dan cara pandang. Perbedaan tersebut hanya dapat diterima dengan penuh syukur dan semua memiliki tanggung jawab untuk memelihara dan melestarikannya. Jadi, membangun kebersamaan atau membangun kembali etika kebersamaan dengan prinsip menghargai hak manusia dalam beraktivitas merupakan keharusan. Bhinneka Tunggal Ika mesti dijaga dan dilestarikan.
Itu semua menjadi tugas sekaligus catatan bagi presiden dan wakil presiden terpilih, yaitu bagaimana supaya kebersamaan masyarakat dalam kebinekaan bangsa ini tetap terbangun, bahkan semakin kokoh dan kian lestari. Pertama kali, pemimpin baru harus segera menunjukkan bahwa kepemimpinannya tidak berpihak pada kelompok agama, etnis, atau ras tertentu, tetapi benar-benar untuk seluruh warga bangsa tanpa kecuali. Di sini, pemimpin baru harus segera mengarahkan seluruh warga bangsa kepada hidup yang bersahaja dengan merajut kembali etika kebersamaan.
Ini semua yang harus kita pahami bahwa akar persoalannya adalah pada ekosistem kehidupan kita yang entah disadari atau tidak yakni perubahan yang sangat fundamental dari kehidupan komunal, kolektif lalu masuk ke kehidupan yang individual dan serba kompetitif—entahlah apakah negara menyadari perubahan ini apa tidak???

Tugas animasi

Tugas membuat Animasi Saya membuat animasi yaitu pesawat terbang. Langkah pertama: Untuk membuat badan pesawat, yang diawali bentuk ...