Selasa, 23 April 2019

Upaya Memaksimalkan Zona Ekslusif Indonesia


Pengaturan mengenai Zona Ekonomi Eksklusif sudah diatur baik secara intenasional maupun secara nasional.
Oleh karena itu penelitian ini perlu menjelaskan kembali karena perkembangan hukum, khususnyadi bidang kelautan.
Aspek Hukum (Yurisdiksi) Negara Pantai di Bidang Perikanan Menurut Konvensi Hukum Laut PBB 1982
Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 1985. Konvensi tersebut telah berlaku pada tanggal 16 November 1994 yakni setahun setelah sipenuhinya jumlah ratifikasi sebanyak 60 negara oleh Guyana pada tanggal 16 November 1993, sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 308 yang menyatakan bahwa Konvensi akanberlaku 12 bulan setelah tanggal pendepositan piagam ratifikasi yang ke-60. Oleh karena itu bagi negara kepulauan dan negara pantai seperti Indonesia, peristiwa tersebut merupakan langkah yang patut dibanggakan. Dengan berlakuknya yurisdiksi Konvensi Hukum Laut 1982 berarti status kepulauan Indonesia dengan yurisdiksi terhadap eksploitasi kekayaan alam hayati dan non hayati, sudah tidak diragukan lagi secara internasional.

Adapun Hak dan Kewajiban Indonesia sebagai Negara Pantai adalah sebagai berikut:
(a)Hak Negara Pantai untuk membuat pengaturan.
Untuk melihat sejauh mana hak Indonesia, terutama dalam memanfaatkan sumber daya ikan yang terkandung dalam laut kepulauan dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, pertama-tama dapat dilihat dari Pasal 3 KHL 1982 yangmenyatakan bahwa kedaulatan suatu negara pantai selain meliputi wilayah daratan dan perairan pedalamannya, dan dalam hal suatu negara kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi pula suatu jalur laut yang berbatasan dengannya yang dinamakan laut teritorial. Maka pada prinsipnya adalah wewenang penuh negara pantai untuk mengatur pemanfaatan perikanan di wilayah perairan nasional Indonesia yaitu di laut pedalaman, laut kepulauan, dan laut teritorial. Walaupun kapal asing diberi hak untuk melakukan lintas damai tetapi pada saat ia melakukan lintas itu, tidak diperkenankan untuk menangkap ikan. Hal ini ditegaskan oleh KHL 1982 Pasal 19 ayat (2) (i) yang menyatakan bahwa lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban, atau keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan setiap kegiatan perikanan.
Selanjutnya negara pantai diberi kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lintas damai melalui laut teritorial yang meliputi :
a.keselamatan navigasi dan pengaturan lalu lintas maritime
b.perlindungan alat-alat pembantu dan fasilitas navigasi serta fasilitas atau instalasi lainnya
c.perlindungan kabel dan pipa laut
d.konservasi kekayaan hayati laut
e.pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan perikanan negara pantai
f.pelestarian lingkungan negara pantai dan pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemarannya
g.penelitian ilmiah kelautan dan survey hidrografi
h.pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan fiskal, imigrasi, atau saniter negara pantai.

Pengaturan-peraturan yang dibuat oleh negara pantai tersebut tidak berlaku bagi desain, konstruksi, pengawakan, atau peralatan kapal asing, kecuali apabila peraturan perundang-undangan tersebut melaksanakan peraturan atau standarinternasional yang diterima secara umum (Pasal 21 ayat 2). Dan peraturan-peraturan tersebut harus bersifat transparan dan mudah diketahui oleh negara yang melakukan pelayaran lintas damai tersebut. Kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai, harus mematuhi semua peraturan perundang-undangan dan semua peraturan internasional yang bertalaian dengan pencegahan tubrukan di laut yang diterima secara umum.

(b)Hak perikanan tradisional bagi negara tetangga.
Tanpa mengurangi status perikanan kepulauan, negara pantai (Indonesia) harus tetap menghormati pernjajian yang ada dengan negara lain, dan harus mengakui hak perikanan tradisional serta kegiatan lain yang sah dari negara tetangga yang langsung berdampingan dalam daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan. Syarat dan ketentuan bagi pelaksanaan hak dan kegiatan demikian, termasuk sifatnya, ruang lingkup dan daerah dimana hak dan kegiatan demikian berlaku, atas permintaan salah satu negara yang bersangkutan harus diatur dengan perjanjian bilateral antar mereka. Hak demikian tidak boleh dialihkan atau dibagi dengan negara ketiga atau warga negeranya.

(c)Hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif.
Menurut Pasal 56 KHL 1982 negara pantai (Indonesia) dalam Zona Ekonomi Eksklusifnya mempunyai hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi, dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi zona tersebut, seperti produksi energi dan air, arus dan angin.
Yurisdiksi di ZEE terbatas pada hak untuk melakukan eksploitasi sumber kekayaan alam yang dikandungnya, dengan tetap mengakui adanya status lain dari perairan tersebut sebagai laut bebas, untuk kegiatan-kegiatan yang bukan termasuk ke dalam pemafaatan kekayaan alam. Dengan perkataan lain, yurisdiksi yang diberikan oleh Konvensi terbatas terhadap hak-hak ekonomi dan negara pantai atas kekayaan alamnya. Sedangkan di bidang pelayaran dan pemasangan kabel dan pipa di bawah laut, tetap merupakan laut bebas. Selain yurisdiksi terhadap kekayaan alam yang terkandung di ZEE, kegiatan-kegiatan yang sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan eksistensi dari kekayaan tersebut, Konvensi mengakui adanya yurisdiksi yang berkaitan. Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 56 ayat (1) butir (b) bahwa yurisdiksi sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang relevan dengan Konvensi ini berkenaan dengan : (i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan bangunan; (ii) riset ilmiah kelautan; dan (iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Ditambah dengan hak dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam Konvensi. Namun dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi ini dalam ZEE, negara pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya hak-hak dan kewajiban konvensi. Mengenai hak-hak negara lain di ZEE ditegaskan dalam Pasal 58 yang menyatakan bahwa semua negara, baik negara yang pantai atau negara tak berpantai dengan tunduk pada ketentuan yang relevan dengan konvensi, menikmati kebebasan pelayaran dan penerbangan, serta kebebasan meletakan kabel dan pipa bawah laut, dan penggunaan laut lain yang sah menurut hukum internasional yang bertalian dengan kebebasan-kebebasan kapal, pesawat udara, dan kabel serta pipa bawah laut.

(d)Kewajiban negara pantai untuk melakukan konservasi sumber kekayaan alam hayati.
Sebagaimana dikatakan di atas, bawah sesungguhnya yurisdiksi negara pantai yang berlaku di ZEE sifatnya terbatas, dan kebebasan-kebebasan yang berlaku di laut bebas masih melekat dalam hal-hal tertentu. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan kekayaan alam di ZEE jangan sampai merusak kelangsungan hidup sumber daya hayati di perairan tersebut. Mengingat bahwa sumber daya hayati seperti ikan sebenarnya tidak dapat dibatasi oleh suatu batas tertentu, dan mempunyai sifat berpindah-pindah, sehingga kepentingan eksploitasi sumber itu oleh suatu negara tidak terlepas juga kepentingan negara lain, terutama negara-negara yang berdekatan baik berhadapan maupun yang berdampingan.
Oleh karena itu, konvensi mewajibkan hal-hal sebagai berikut (pasal 61 KHL 1982):
(1)negara pantai harus menentukan jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan dalam ZEE.
(2)Negara pantai, dengan memperhatikan bukti ilmiah terbaik dan tersedia baginya harus menjamin dengan mengadakan tindakan konservasi dan pengelolaan yang tepat sehingga pemeliharaan sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif tidak dibahayakan oleh eksploitasi yang berlebihan. Dimana perlu, negara
17pantai dan organisasi internasional, regional maupun global, harus bekerja sama untuk tujuan ini.
(3)Tindakan demikian juga bertujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang dapat dimanfaatkan pada tingkat yang dapat menjaminhasil maksimum yang lestari, sebagaimana ditentukan oleh faktor ekonomi dan lingkungan yang relevan, termasuk kebutuhan ekonomi masyarakat nelayan daerah pantai dan kebutuhan khusus negara berkembang, dan dengan memperhatikan pola penangkapan ikan, salingketergantungan persediaan jenis ikan dan standar minimum internasional yang dianjurkan secara umum, baik di tingkat sub-regional, regional, maupun global.
(4)dalam mengambil tindakan demikian, negara pantai harus memperhatikan akibat-akibat terhadap jenis-jenis yang berhubungan atau tergantung pada jenis yang dimanfaatkan dengan tujuan untuk memelihara atau memulihkan populasi jenis yang berhubungan atau tergantung demikian di atas tingkat reproduksinya dapat sangat terancam.
(5)keterangan ilmiah yang tersedia, statistik penangkapan dan usaha perikanan, serta data lainnya yang relevan dengan konservasi persediaan jenis ikan harus disumbangkan dan diperuntukan secara teratur melalui organisasi internasional yang berwenang baik sub-regional, regional, maupun globaldimana perlu dan dengan peran serta semua negara yang berkepentingan, termasuk negara yang warga negaranya diperbolehkan menangkap ikan di ZEE.

(e)Kewajiban negara pantai untuk memanfaatkan secara optimal wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Negara pantai diharuskan untuk memanfaatkan secara optimal wilayah ZEE-nya, dan harus menetapkan kemampuannya. Apabila ternyata negara pantai tersebut tidak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan sumber kekayaan hayati yang dapat diperbolehkan, makaia harus, melalui perjanjian atau peraturan lainnya, memberikan kesempatan pada negara lain untuk memanfaatkan jumlah tangkapan sesuai dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan yang masih tersisa dengan memperhatikan secara khusus ketentuan Pasal 69 dan Pasal 70, khususnya yang bertalian dengan negara berkembang yang disebut di dalamnya. Dalam memberikan kesempatan memanfaatkan kepada negara lain itu, negara pantai harus memperhitungkan semua faktor yang relevan, termasuk antara lain mengenai pentinya sumber kekayaan hayati yang penting bagi perekonomian negara pantai yang bersangkutan dan kepentingan nasional yang lain (Pasal 62 ayat 3). Warga negara lain yang melakukan penangkapan ikan di ZEEI harus mematuhi tindakan konservasi dan ketentuan serta persyaratan lainnya yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan negara pantai.Peraturan perundang-undangan itu meliputi:
(1) pemberian izin kepada nelayan, kapal penangkapan ikan dan peralatannya, termasuk pembayaran bea dan pungutan bentuk lain, yang dalamhal negara pantai yang berkembang, dapat berupa kompensasi yang layak di bidang pembiayaan, peralatan, dan teknologi yang bertalian dengan industri perikanan;
(2) pentepan jenis ikan yang ditangkap, dan menentukan kuota-kuota penangkapan, baik yang bertalian dengan persediaaan jenis ikan atau kelompok persediaan jenis iakan suatu jangka waktu tertentu atau jumlah yang dapat ditangkap oleh warga negara suatu negara selama jangka waktu tertentu;
(3) pengaturan musim dan daerah penangkapan, macam ukuran dan jumlah alat penagkapan ikan, serta macam, ukuran dan jumlah kapal penangkap ikan yang boleh digunakan;
(4) penentuan umum dan ukuran ikan dan jenis yang boleh ditangkap;
(5) rincian keterangan yang diperlukan dari kapal penangkap ikan, termasuk statistik penangkapan dan usaha penangkapan serta laporan tentang posisi kapal;
(6) persyaratan, di bawah penguasaan dan pengawasan negara pantai, dilakukan program riset perikanan yang tertentu dan pengaturan pelaksanaan riset demikian, termasuk pengambilan contoh tangkapan, disposisi contoh tersebut dan pelaporan data ilmiah yang berhubungan
(7) penempatan peninjauan atau trainee di atas kapal tersebut oleh negara pantai;
(8) penurunan seluruh atau sebagian hasil tangkapan oleh kapal tersebut di pelabuhan negara pantai;
(9) ketentuan dan persyaratan bertalian dengan usaha patungan atau pengaturan kerja sama lainnya;
(10) persyaratan untuk latihan personil dan pengalihan teknologi perikanan, termasuk peningkatan kemampuan negara pantai untuk melakukan riset perikanan;
(11) prosedur penegakan.Apabila di ZEE atau di luar tetapi berdekatan dari dua negara atau lebih, terdapat persediaan ikan jenis yang sama atau termasuk dalam jenis yang sama, maka negara-negara ini harus secara langsung melalui organisasi sub-regional atau regional, berusaha mencapai kesepakatan mengenai tindakan yang diperlukan untuk mengkoordinasikan dan menjamin konservasi dan pengembangan persediaan jenis ikan yang demikian (Pasal 63 KHL 1982).

Tokoh Wayang


Arjuna

Arjuna memiliki nama kecil Permadi, anak bungsu dari seorang Prabu Pandu dan Dewi Kunti. Jika dalam bahasa Sangsakerta, nama Arjuna berarti yang Bercahaya. Penjelmaan dari Dewa Indra atau sering disebut Dewo Indra. memiliki kemahriran ilmu memanah dan sudah di anggap oleh Drona. selain nama Permadi, Arjuna juga memiliki nama panggilan yang lainnya yaitu Dhannjaya, Kirti, Partha. Arjuna memiliki sifat atau watak yang pendiam, sopan santu, lemah lembut, teliti, berani, cerdik dan mampu melindung yang lemah. busur panahnya yang terkenal bernama busur Pasopati.  
  
Nakula dan Sadewa


  Nakula dan Sadewa merupakan putra kembar dari Prabu Pandu dan Dwi Mardim. Nakula bisa dibilang jelmaan dari Dewa kembar bernama Aswin, yang sering dikenal sebagai dewa Pengonatan. Namun, orang tua Nakula dan Sadewa meninggal sehingga mereka di Asuh oleh Dewi Kunti, Istri Pandu yang lainnya. Nakula merupakan Kesatria yang ahli dalam bermain pedang, sedangka Sadewa ahli dalam ilmu Astronomi. Nakula dan Sadewa memiliki watak yang sama yaitu jujur, setia, taat dan patuh terhadap orang tuanya

Batara Wisnu

Sang hyang wisnu digambarkan sebagai seorang yang bermata jaitan, bermuka agak dongkak, berhidung mancung, bergaruda membelakang dan bersunting waderan. Bathara wisnu memiliki sifat yang tegas, ikhlas, pemaaf, tanpa pamrih dan dapat memberi semua kehidupan kepada mahluknya

Tugas animasi

Tugas membuat Animasi Saya membuat animasi yaitu pesawat terbang. Langkah pertama: Untuk membuat badan pesawat, yang diawali bentuk ...